Dalam perjalanan menempuh hari-hari tanpa media sosial, aku mulai menyadari beberapa hal yang terjadi dalam seminggu pertama ini.
Kebiasaan membuka Facebook
Setiap kali menyalakan komputer dan membuka browser, maka entah disadari atau tidak kursor mouseku dengan lincah mengeklik bookmark untuk mengakses Facebook. Ternyata alur untuk membuka Facebook sudah begitu terekam dalam memori otot tanganku. Dan dorongan untuk melihat Facebook masih cukup terasa. Selalu ada dorongan penasaran, “Apakah ada komentar baru?”, “Apa yang sedang ramai di Facebook?” Tapi cuma sampai situ saja. Kursor mouseku berhenti di atas pilihan bookmark. Twitter? Instagram? Kursor mouseku berputar-putar diantara pilihan itu untuk beberapa saat. Aku tidak mengekliknya.
“Kehilangan” kabar
Bagaimana kabar ci Ay setelah terakhir berjumpa di Bandung? Atau Bernard dalam petualangannya mendapatkan gelar pascasarjana? Atau Monica si teman seperjuangan dulu dan sekarang? Sepertinya aku tidak tahu lagi kabarnya. Padahal memang aku tidak tahu kabarnya dari Facebook dan tidak menanyakan juga kabar mereka melalui Facebook. Hanya melihat News Feed yang berisi postingan dari berbagai teman dengan nama dan foto terpampang di bagian atas kotak putih berisi postingan. Itu pun kebanyakan postingan berisikan tautan surat kabar dan sebagainya.
Kabar dari kawan-kawan yang aku tahu justru bersumber dari percakapan langsung melalui chatting dan tatap muka. Dan kini setelah aku tidak membuka media sosial, kabar dari kawan-kawan yang aku tahu pun tetap bersumber dari percakapan langsung melalui chatting atau berjumpa muka dengan muka.
Dalam kedekatan hubungan, tidak ada kabar yang lebih penting dari kabar pribadi. Kabar mengenai isu-isu sekitar bisa selalui diperoleh dari surat kabar.
Menghabiskan waktu yang tak habis
Tanpa adanya media sosial yang perlu dibuka dan dibaca, aku seperti kebingungan akan apa yang ingin aku lakukan di depan layar komputer (selain mengerjakan kerjaan). Maka tidak jarang aku mematikan komputer saja dan melakukan hal lain.
Masalahnya, hal lain apa yang ingin aku lakukan tanpa komputer?
Oke, sekarang aku sudah punya daftarnya: masak, menyapu, ngepel, mencuci kamar mandi, menyampul buku, menyusun rak buku. Terdengar cukup melelahkan ya.
Bahkan setelah melakukan itu pun waktunya masih bersisa. Hanya tenaga yang sudah habis karena kegiatan yang menguras tenaga fisik.
Porsi tulisan blog meningkat
Aku menghitung satu, dua, tiga, … sembilan tulisan baru aku terbitkan di blog dalam seminggu terakhir ini. Perbedaan jumlah tulisan yang drastis dibandingkan bulan-bulan atau tahun-tahun sebelumnya. Menulis blog ini bisa jadi sebagai pelarianku selama duduk di depan layar komputer. Dan aku menganggap ini sebagai hal yang positif.
Mungkin saja ke depannya jumlah kiriman tulisan tidak akan sebanyak minggu ini apabila aku sudah membagi waktu untuk kegiatan yang lainnya. Tapi tidak apa, karena itu artinya aku sedang mengerjakan hal-hal yang ingin aku lakukan untuk menggapai mimpi-mimpiku.
Jadi, kalau disimpulkan dalam sebuah pertanyaan, bagaimana perasaanku terhadap media sosial? Maka aku merasa ingin membuka media sosial, lalu aku membayangkan seperti apa rasanya membuka media sosial, lalu aku jadi merasa tidak ingin membuka media sosial. Aku merindukan pengalaman media sosial tahun 2008-an, tapi karena kini sudah berbeda dan tidak nampak ada harapan untuk kembali, biar itu menjadi kenangan.