Akhirnya seri hidup sosial tanpa media sosial ini hampir melewati masa satu bulan. Dari selama ini ada beberapa hal yang bisa aku simpulkan sejauh ini.
Hidup tanpa media sosial tidaklah mustahil.
Nyatanya, aku tidak kehilangan apapun oleh karena aku tidak buka Facebook atau Twitter. Malah aku merasa ketinggalan informasi terbaru tentang orang lain adalah hal yang bagus. Dengan begitu, aku bisa punya topik untuk berdialog dengan orang lain. Menanyakan bagaimana kabarnya karena aku memang tidak tahu, bukan pura-pura tidak tahu. Dan gestur yang ditampilkan pun akan terlihat sebagai orang yang tertarik dengan lawan bicaranya. Bukankah orang akan lebih merasa dihargai dengan sikap demikian? Ketimbang menanyakan kabar tapi bahasa tubuhnya menunjukkan tidak tertarik (karena sudah tahu kabarnya dari Facebook) sehingga kata-kata yang diucapkan jadi seperti basa basi saja.
Media sosial bukanlah media massa. Kepribadian setiap orang memang berbeda-beda. Mungkin ada orang yang suka apabila dirinya populer. Memposting sesuatu dan menerima ratusan jempol. Namun tidak demikian dengan aku. Ketimbang menyampaikan sesuatu kepada khalayak ramai, aku lebih peduli dengan siapa aku menyampaikan sesuatu, dan apakah itu sampai kepada mereka. Menyampaikan sesuatu kepada satu dua orang, sekalipun materinya sama, namun mereka boleh merasa dihargai karena kita menyampaikannya secara khusus bagi mereka. Demikian pula sebaliknya.
Apalah artinya 5000 teman di dunia maya tanpa kita tahu persis siapa yang benar-benar peduli dengan diri kita yang sesungguhnya diluar apa yang diunggah di media sosial. Dan apa pula artinya 5000 teman tanpa ada satu pun yang bisa kita berikan perhatian dan dukungan lebih dari sekedar ucapan “selamat” atau “semangat”.
Hidup tanpa media sosial adalah hidup di kenyataan.
Oke, tidak semua orang juga suka hidup dalam kenyataan. Tapi dengan mematikan layar ponsel (atau tab, atau laptop, atau apalah itu) dan menaruhnya di kantung, kita membuka diri untuk berinteraksi dengan sekitar kita.
Pengalamanku bereksperimen dengan ponsel adalah ketika mengheningkan cipta dengan layar ponsel menyala, maka orang-orang di sekitar akan cenderung mengabaikan keberadaan diri ini. Bisa jadi karena mereka menangkap sinyal bahwa kita tertutup dan tidak ingin diganggu. Tapi sebaliknya saat ponsel kita matikan dan dengan wajah santai memandang sekitar, maka terjadi lebih banyak interaksi sekalipun aku bukan yang memulai mengajak bicara. Sesekali orang yang lewat berlalu sambil melemparkan senyuman atau salam. Sesekali orang yang lebih ekstrovert menyempatkan diri untuk singgah dan berbincang-bincang. Kalau ada dua orang yang “celingukan” tanpa ponsel, maka besar peluang untuk mulai berbicara.
Dalam satu bulan terakhir ini highlight kegiatan aku tidak jauh dari rumah, SCBD, dan KCC. Mengerjakan proyek, belajar flute, gayageum, dan bahasa Korea, di samping menghadiri resepsi pernikahan. Meski demikian, aku bisa mengingat lebih banyak momen yang terjadi ketimbang di bulan-bulan sebelumnya. Dengan membatasi diri dari akses ke media sosial, maka aku dipaksa untuk meresapi momen demi momen sepenuhnya. Merekam momen-momen mempelai wanita memasuki ruangan dengan tarian, disambut oleh mempelai pria dengan wajah bahagia. Merekam lantunan lagu medley yang dipentaskan dengan merdu oleh Yerang di Depok. Merekam perjalanan sosial dalam sebuah bus, yang terasa seperti karyawisata anak sekolahan. Bahkan hal-hal yang kecil seperti makanan yang super pedas, jari teman yang luka saat main gayageum, nuna yang mencoba mengepang rambut, seorang teman yang menceritakan hari pertama turun salju di Korea setelah musim gugur, dan lain-lain. Sekalipun hanya beberapa foto yang diambil, namun satu foto pun akan cukup untuk memutar kembali cuplikan peristiwa yang terekam baik dalam benak di tahun-tahun mendatang.
Ketika kita melakukan perjalanan liburan atau suatu kegiatan, janganlah sibuk menceritakan betapa mengesankannya kegiatan yang kita lakukan, lalu lupa untuk menikmati kegiatan itu sendiri. Enjoy the moment. Biar kegiatan yang mengesankan itu tidak hanya muncul di timeline media sosial, mendapat ratusan like, lalu hilang ditelan bumi. Biar kesan itu terekam dengan baik dalam benak yang mampu kita kisahkan kembali kepada anak cucu kita.
Hidup tanpa media sosial adalah menjadi diri sendiri.
Ketika memposting sebuah foto atau status kita di media sosial dan mendapat banyak like, ada rasa senang atau bangga dalam diri kita. Namun sadar tidak sadar apabila terlalu banyak mengonsumsi media sosial, justru hal ini malah mempengaruhi penilaian kita terhadap harga diri sendiri. Harga diri ditentukan oleh jumlah like.
Lalu kita melihat-lihat postingan orang lain yang menampilkan fotonya selalu berada di negeri yang berbeda. Oh betapa asyiknya jadi dia bisa bepergian ke luar negeri. Sedangkan aku masih di sini, terbelenggu di kantor. Atau melihat orang yang memposting fotonya dengan bentuk tubuh yang ideal. Oh kapan ya aku bisa punya tubuh ideal begitu.
Akhirnya kita punya ekspektasi yang tidak rasional terhadap diri sendiri.
Tanpa media sosial, kita tidak terintimidasi oleh apa yang dilakukan oleh orang lain, dipusingkan oleh apa yang dikomentari oleh orang lain (yang mungkin komentarnya saling bertentangan satu sama lain). Kita bisa bebas menjadi diri sendiri, berusaha menggapai mimpi yang kita miliki, dengan pergerakan yang sesuai dengan laju hidup kita.
Hidup tanpa media sosial tidak harus tanpa media sosial.
Setelah menjalani satu bulan tanpa media sosial, aku mulai mencurigai masalah utama dari media sosial yang banyak terjadi belakangan ini bukan pada media sosialnya, tetapi pada fitur timeline, home feed, atau sejenisnya. Yaitu halaman yang mengagregasi postingan terbaru dari teman-teman dalam jejaring sosial. Selain menghabiskan waktu, membuat kita kepo, mengurangi interaksi yang personal dengan orang yang bersangkutan, halaman agregasi ini juga diperparah dengan algoritma yang dibuat untuk memilah-milah postingan siapa dan bagaimana yang lebih banyak ditayangkan sesuai dengan kepribadian kita, atau lebih tepatnya sesuai dengan apa yang dianggap oleh program sesuai dengan kepribadian kita berdasarkan pemantauan terhadap gerak-gerik kita di media sosial.
Kalau kita masih ingin membuka media sosial, maka halaman yang paling perlu untuk dijauhi adalah halaman home atau news feed. Langsung saja buka halaman profil diri sendiri, atau kunjungi langsung halaman profil teman yang ingin kita lihat. Bukan hanya kita terbebas dari buang-buang waktu menelusuri seabreg postingan tidak relevan, tapi juga kita bisa melihat postingan dari teman tersebut seluruhnya, tanpa ada yang terfilter oleh sistem karena dianggap tidak relevan dengan kepribadian kita. Sebagai bonus, kita juga terbebas dari keharusan membaca sisipan posting sponsor di antara sejumlah postingan yang ada di home atau news feed.
Ada postingan teman yang kita suka? Katakan dengan kata-kata. Tulis di kolom komentar, “Aku suka ini.” Maka tanda like kita akan lebih bermakna. Mereka bisa tahu bahwa kita memang suka dengan postingan mereka. Juga memungkinkan untuk berlanjut menjadi dialog melalui kolom komentar. Aku sudah menerapkan pola ini sejak kira-kira setahun yang lalu. Dan hasilnya pertemanan jarak jauh melalui dunia maya menjadi lebih akrab.