Hidup Sosial Tanpa Media Sosial: Bulan #2

January 14, 2016 • Human

Oke, ini merupakan postingan penutup dalam seri Hidup Sosial Tanpa Media Sosial. Sebuah tulisan refleksi sebagai kesimpulan setelah dua bulan menutup diri dari media sosial dan membuka diri untuk sosialisasi di dunia nyata.

Media sosial: antara butuh dan tidak butuh

Dua bulan ini membuat aku bisa memisahkan dua hal penting dari penggunaan media sosial: untuk selalu up-to-date akan segala hal yang diposting oleh “teman” di media sosial, dan untuk bisa tetap stay in touch dengan teman-teman yang tidak bisa kita jumpai di dunia nyata.

Aku butuh media sosial untuk bisa kontak dengan mereka yang tinggal di belahan lain bumi ini. Ada hubungan yang bisa dibangun dengan komunikasi personal via chatting. Ada juga interaksi yang bisa dibangun dengan berbagi cerita bersama via media sosial. Yang aku tidak butuh adalah News Feed, atau News Stream, atau apalah namanya itu. Yang selalu menarik perhatian dan memakan waktu berjam-jam untuk membaca dan me-scroll halaman berisi update mengenai berita terbaru, video lucu, meme, curhatan, foto makanan yang diposting oleh orang-orang yang tak ada habisnya. Belum lagi postingan sponsor alias iklan di sela-sela postingan lain.

Sialnya, semakin sering kita membuka media sosial, semakin terlena kita dengan news feed ini. Waktu habis memandangi media sosial tanpa benar-benar bersosialisasi. Karena aku tahu bahwa sumber pemborosan waktu adalah pada halaman news feed, maka lebih baik menghindari membuka halaman Home yang berisi news feed itu. Langsung saja menuju halaman profil, atau kunjungi profil teman. Sama persis seperti jaman aku pakai Friendster dulu.

Update terus

News feed di media sosial akan terus-menerus diperbarui, baik dibaca maupun tidak dibaca. Apalagi dengan ratusan “teman” yang terdaftar di profil kita, satu kali refresh halaman maka pof! postingan yang tadi terlewat sudah tak kelihatan lagi, jauh terdorong ke bawah halaman. Selama dua bulan tak memandangi news feed, aku menyadari ada pula update di dunia nyata sekitar kita yang terjadi terus-menerus, entah kita menyadarinya atau tidak.

Dalam dua bulan ini, hal-hal yang terjadi di sekitar aku di antaranya:

  • Musim hujan sudah tiba
  • Tahun baru!
  • Pergantian pengurus pengelola apartemen
  • Masa berlaku SIM sudah habis (dan diperpanjang)

Sedangkan untuk hal-hal yang terjadi pada orang-orang yang lebih dekat:

  • Krisis seperempat abad
  • Ada teman jadian
  • Seputar karir dan jalan hidup

Bagaimana dengan kabar-kabar yang lebih luas, seperti pencurian di bandara, kasus penunjukkan diri sendiri oleh SN, putusan pengadilan negeri Palembang yang memenangkan perusahaan yang didakwa sebagai pelaku pembakaran hutan? Oh tentu saja aku tak ketinggalan kabar seperti itu.

Media untuk berbagi kehidupan

Kini media sosial rasanya lebih banyak dipenuhi dengan satu atau beberapa jenis konten seperti ini:

  • Foto selfie
  • Foto makanan
  • Foto jalan-jalan (selfie juga)
  • Berita
  • Barang jualan
  • Spam, surat kaleng, atau MLM
  • Video atau gambar lucu
  • Undangan yang tidak spesifik
  • Iklan

Konten-konten di atas mungkin mendatangkan banyak like atau share, tapi tidak banyak membantu dalam meningkatkan hubungan yang akrab. Kalau ingin berbagi mengenai hal yang ada di pikiran, blog-lah tempatnya!

Ketimbang memposting konten untuk menarik perhatian orang kepada diri sendiri, rasanya jauh lebih bermakna bila memposting konten untuk memberi perhatian kepada orang lain, seperti:

  • Foto kegiatan bersama teman
  • Ucapan salam dan terima kasih
  • Hal-hal yang diminati bersama ditujukan spesifik kepada orang tertentu

Beberapa waktu lalu aku menghapus foto-foto dan video dari Facebook. Setelah lalu dua bulan, sebenarnya aku sedikit menyesal menghapusnya. Karena itu foto berisi kenangan yang dilakukan bersama-sama dengan teman. Aku masih punya fotonya di koleksi pribadi, tetapi kini sulit untuk berbagi kenangan dengan mengundang mereka datang ke rumah karena mereka berada di beda kota atau beda negara.

Hal di atas mungkin lebih spesifik untuk Facebook, karena tiap situs punya fungsinya masing-masing. Karena jejaring sosial Facebook menggunakan konsep hubungan mutual dan ditujukan sebagai media pertemanan, maka media ini lebih tepat untuk berteman.

Mungkin akan berbeda pada Instagram yang menggunakan konsep follower dan following. Jejaring sosial macam ini lebih seperti fan page. Kita tak perlu tahu siapa yang mengikuti update tentang kita. Ya, dan tentu saja postingan yang kita buat pun kurang lebih isinya seputar diri kita. Dan rasanya untuk hal ini wajar saja. Justru aneh dan agak menyeramkan kalau profil kita dipenuhi foto orang lain tanpa kita, apalagi kalau itu bukan artis atau orang terkenal.

Lain lagi dengan Twitter. Orang menyebutnya sebagai microblogging platform. Konsep jejaringnya serupa dengan Instagram, dengan follower tanpa harus follow back. Aku pribadi lebih suka menulis di blog ketimbang microblog (baca: Twitter), karena aku bisa leluasa mencurahkan isi pemikiran tanpa dibatasi 160 karakter, sekaligus mengasah kemampuan berbahasa.

Sosialisasi di dunia nyata

Ternyata tidak mudah dilakukan setelah lulus kuliah dan menginjak dunia kerja. Setiap orang kini punya kegiatannya masing-masing. Jadwal yang berbeda-beda ini membuat kesulitan ketika ingin merencanakan jalan, makan, atau main bareng teman-teman. Semakin banyak teman yang ingin dikumpulkan untuk jalan bersama, semakin kecil kemungkinan terlaksana. Di samping jadwal yang berbeda, tujuan dan arah setiap orang juga kini sudah berbeda. Lain halnya saat masa sekolah dulu, tujuan yang ditempuh kurang lebih sama: untuk belajar, untuk lulus, untuk refreshing dari tugas. Karena tujuan yang sedang ditempuhnya berbeda, maka ajakan untuk kopi darat mungkin saja ditolak karena mereka sedang mengejar hal lain yang lebih prioritas dalam hidupnya. Karena aku pun demikian.

Meskipun demikian, memberi waktu untuk berjumpa atau hangout di darat adalah hal yang layak untuk diusahakan.

Kesimpulan

Sekalipun tidak mustahil untuk memilih hidup tanpa media sosial sama sekali, tetapi keputusanku adalah untuk kembali memakai media sosial dengan membatasi fungsinya sebagai alat berkomunikasi ketimbang sebagai bagian besar dari kehidupan sosial.

Comments are closed.